Sabtu, 27 Agustus 2011

Bromo 2009

Karena pengalaman yang ini sudah tahun 2009, jadi saya rada' sedikit pikun dengan lika-liku menuju gunung Bromo yang lagi sakit batuk beberapa bulan yang lalu.

Dan, postingan ini saya dedikasikan #eaeaea buat mbak Aya, semoga dikau menikmati cerita yang rada' aneh ini mbak.

-Begin-

Dikejar Bule Jerman

Bromo, 2009. Lupa bulan, lupa tanggal. Lupa jam berangkat pula.

Pas 2 tahun lalu, saya sama keluarga sepupu saya pergi ke Bromo. Untung gunungnya masih belum sakit batuk-tak ditemukan obat, masih sehat waktu itu Bromo-nya. Nah, buat mempersingkat cerita, langsung cekedot dari mulai WC umum aja yak?

Setelah turun dari jeep yang membawa saya dan selengkap rombongan, kami turun. Unhtuk mengantisipasi bila kebelet pipis pan baru nyampek puncak di Bromo, akhirnya kami berjalan ke WC umum terlebih dahulu (WC-nya ini bau pesing tapi bersih, rada' mual aku disini). Di luar WC inilah, penjaga WC berinteraksi pakai bahasa Inggris yang pastinya agak aneh juga. Ya, maklumin aja lah.

Abis itu, kita langsung jalan ke gunung Bromo. Sebelum mendaki, kita foto-foto heboh (udah pasti, ini tradisi yang nggak bisa ilang dari keluarga besar Hadiwinoto) dulu di depan gunung Batok. Baru abis itu kita rame-rame daki gunung Bromo-nya.

Baru naik berapa tangga, tiba-tiba Mbak Ria nyeletuk "nggak pake sendal kok panas, ya? Ganti pake sandal boleh nggak?" ini yang menyebabkan perjalanan kami diperlambat sekitar 30 menitan (pakde dan mbak Ria sama-sama telanjang kaki. Bayangin, kita jalan di pasir, dan pasirnya PANAS. Mantab tuh, kaki goreng deh :3). Pakde saya-sebagai ayah dari Mbak Ria (bahasa apaan ini, kok formal bangeeet?) manggil kuda, beliau balik lagi ke tempat jeep diparkir, ngambil sendalnya mbak Ria dan beliau sendiri, terus balik lagi.

Mendaki Bromo ini nggak perlu pake sepatu dengan duri yang kayak dipake Spongebob buat nyoblos mata pencekik di serialnya itu. Cuman sepatu biasa, yah, sepatu sekolah. Saya pake sepatu sekolah buat mendaki gunung dan hasilnya sepatu ini berubah warna penjadi hitam keabu-abuan kena terpaan debu.

Jalur pendakian ini nggak rata Skylight, jadi cuman tanah dengan debunya itu tadi. Belum nyampe pucuk gunung, udah kelilipan mata saya. Alhasil, saya lebih milih mendaki tapi di urutan belakang.

Setelah mendaki gunung, masih ada sekitar 500-an lebih tangga yang harus didaki. Disini, bunda nyuruh aku, mbak Ria, mbak Laras sama mas Puguh buat ngitung jumlah tangga. Lumayan lah, bisa buat ngabisin. Setelah samapi di puncak, nggak ada yang bisa ngitung dengan bener jumlah tangganya. Dan juga nggak ada yang mau buat ngulangi ngitung tuh tangga. Karena bau belerang yang amat menyengat, kita semua pada kompak nutup hidung pakai sarung tangan. Kami nggak lama-lama di atas, karena pada nggak kuat semua juga.

Akhirnya kita turun. Aku sama mbak Laras turun duluan, karena pingin cepet-cepet sampai ke bawah tanpa harus nunggu rombongan yang lainnya. Disinilah cerita dikejar bule itu dimulai.

Di tangga yang ini:

Saya nggak punya foto tangga yang polos, jadi ambil foto yang ini aja, deh.

Saya dikejar bule. Bule yang tadi ngomong di WC umum sama penjaga WC-nya.

Ketika menuruni tangga, saya nyalip si bule Jerman ini. Terus, ketika sudah agak jauh dari si bule Jerman ini, tiba-tiba....

Bule: “HEII!! YOUU!! WITH BLACK TROUSERS AND YELLOW SHIRT!! WAIT FOR ME!!!!”

#JDEEER. Saya pake celana panjang hitam dan kaos kuning lengan panjang. Bule ini manggil saya?

Cepat-cepat saya balik badan, dengan mulut ala ikan koi dan telunjuk di dada. Bule Jerman semakin dekat dengan saya... dan... dan.....

Seakan-akan bule ini bilang “sorry it’s not you” dia cuma nunjuk temannya yang udah lebih jauh di bawah. DAN TEMANNYA INI PAKE CELANA PANJANG PLUS KAOS KUNING.

Oh Tuhan, aku cuma bisa ngangguk dan cengar-cengir.

*****

Setelah lewat tangga dan jalur menurun pasir, kini saatnya ke batu gede yang dibuat berteduh sebelum mendaki tadi. Disini juga kejadian.

Mbak Laras sama aku ngelewati padang pasir abu-abu. Untung aja nggak ada anginnya, jadi nggak kelilipa ini mata.

Tiba-tiba lagi, ada suara kuda meringkik dibelakang kami. Mbak Laras noleh.

Mbak Laras: “Dek... coba liat ke belakang. Lari yuk?”

Aku: “Apa-apaan sih, wong cuma.....” (noleh kebelakang, dan..) “LARIIII!!! CEPETAN LARIIII!!!!!

Bule Jerman yang berbeda lagi itu naik kuda yang dipacunya kenceng-mana ke arah kita berdua, lagi! Langsung aja kita berdua lari cepet-cepet, kalang kabut, sepatu kemasuka pasir segala. Mbak Laras mau jatuh, gara-gara kita lari muncul banyakdebu-saya kelilipan.

Alhasil, setelah lari cukup jauh, ternyata.......

..............

.................. BULE INI NGEJAR SI EMPUNYA KUDA YANG DI KEJAUHAN.

Sekali lagi, aku cuman cengir-cengir. Plus gaya ‘capek deh’ yang nggak oke, kita akhrinya jalan sampai batu gede dengan ngos-ngosan.

Mbaknya, inilah cerita saya dikejar bule Jerman naik kuda. Rada nggak lucu, ya? Saya emang bukan pelawak mbak, Cuma anak 11 tahun yang gemar makan-tidur-makan-tidur sehingga melar badannya J *peace!

2 komentar:

  1. GYAHAHAHAHAAH

    ini mah bukan 'dikejar' bule naik kuda, tapi situnya aja kegeeran XDDD #ngakakgulingguling
    aah, namanya nasib, yaaaah

    BalasHapus
  2. Ke-geeran? HUAHAAHAH. mungkin iya juga ya? u,u

    Lah? Tapi ini bulenya naik kuda ke arah saya, mana waktu itu dibelakang saya-PERSIS lagi. Gimana saya nggak mau lari mbaknya, eeh, ternyata dia ngejar yang punya kuda jauuuuh didepan #gubraak.
    Mugkin kalo lari2 di padang pasir, lebih cocok pakai baju India, yak?

    BalasHapus